Jakarta Barat, 1 Juli 2025 – Ini kisah tragis nan komedi dari dunia hukum negeri +62. Seorang dengan gangguan jiwa ringan —yang mestinya dirawat, dimandikan, diajak ngobrol, dan diajak nonton sinetron agar bahagia—malah dijadikan objek rebutan harta keluarga. Bedanya, bukan rebutan kasih sayang, tapi rebutan rekening dan sertifikat tanah. Hadeh.
Sebut saja dia si K, yang didiagnosis punya gangguan jiwa ringan gara-gara stres ditinggal Ibunda tercinta ke alam barzah. Tapi daripada dihibur, dia malah “diampuni” oleh seorang pengampu yaitu tantenya yang bernama Si Y yang katanya waras, tapi gila beneran — gila harta.
Harta Dikuasai, Hidupnya Disia-Siakan
Si K ini statusnya secara medis ada dugaan dipaksakan agar ditetapkan sebagai orang dengan gangguan jiwa, artinya perlu pengampu yang bisa jaga hidupnya, bukan jaga ATM-nya doang. Tapi realitanya?
Segala harta benda, dari tanah sampai tabungan, dikuasai oleh pengampu. Tapi urusan makan, mandi, dan tempat tinggal si K? Ya ampun, ampun-ampunan! Malah di masukkan ke Rumah Sakit Jiwa, terus di tinggal begitu saja.
Katanya pengampu, tapi kelakuannya bikin Gareng Petruk pusing 7 keliling.
Tuhan Masih Sayang, Ada yang Peduli
Di tengah kekacauan ini, datanglah seorang keluarga jauh, bukan pemain sinetron tapi punya jiwa heroik. Ia mapan secara ekonomi, hatinya empatik, dan paling penting: waras secara nalar dan niat. Ia adalah Pak I melihat si K ini hidupnya terkatung-katung bak kapal tanpa nahkoda, dan merasa terpanggil.
Dengan bantuan Firma Hukum Maps Lawyer Indonesia, sang keluarga jauh Pak I ini mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat agar pengampu lama dicopot, dan ia ditetapkan sebagai pengampu baru.
MAPS LAWYER TURUN GUNUNG
Dipimpin langsung oleh Nurita H., SH., CCA, CBLC, CEO dari firma hukum dan Dr.H.Suparno,SH,MH,MM yang berkantor di Gedung Cyber 2, mereka hadir di sidang dengan misi yang mulia:
“Kami mohon Majelis Hakim menggunakan hati dan empati, bukan hanya pasal dan ayat,” ujar Bu Nurita dengan suara bergetar namun tegas.
Karena yang sedang dipertaruhkan bukan cuma hukum waris, tapi harkat martabat seorang manusia—yang hanya karena gangguan kejiwaan sementara, jadi tak dihargai secara kemanusiaan.
Gareng Menyela (sambil ngopi pahit):
Lho, lho, lho… Ini pengampu atau pengumpul harta?
Pengampu kok malah ngambil semua harta, terus orang yang diampu ditelantarkan. Lah, kayak nyewa rumah tapi isinya dibakar.
Kalau kayak gini mah bukan pengampu, tapi pelaku penganiayaan diam-diam dengan paspor hukum.
Gila yang satu gak bisa kontrol diri.
Gila yang satunya lagi terlalu jago kontrol rekening!
Petruk Tambah (sambil ngelus dada dan saldo ATM):
Keadilan itu jangan cuma buat yang lantang bicara, tapi buat yang diam karena tak berdaya.
Si K itu hanya stres, bukan maling.
Dia butuh kasih sayang, bukan dijadikan sapi perah warisan.
Kami nitip pesan buat para hakim:
Gunakan toga, tapi jangan buang rasa. Gunakan hukum, tapi jangan lupakan nurani.
Karena ketika hukum tak punya hati, maka yang waras akan dipaksa jadi gila.
Salam Hukum Ramah Nurani dari Redaksi Gareng Petruk: Karena negara ini tak boleh jadi tempat aman untuk “orang waras yang jahat”, dan tempat sunyi bagi “orang sakit yang disakiti”.
Berani Waras di Tengah Dunia yang Gila Harta!
#HukumHarusBerperikemanusiaan
#PengampuBukanPerampok
#GarengPetrukBersuara