CIMAHI – Begitu Prabowo Subianto resmi jadi Presiden RI, gaya diplomasi Indonesia langsung berubah dari mode “diam-diam ubi” ke “berisik tapi berisi”. Lho, bukan nyinyir ya, tapi memang Pak Prabowo ini sekarang tampil macam juragan perunding internasional: dari ASEAN Summit, mampir Washington, ngopi di BRICS+, sampai ngeteh sambil pidato di SPIEF Rusia.
Nah, dari sekian pidato itu, satu hal jadi jelas: Pak Prabowo lagi nyiapin versi terbaru dari Politik Luar Negeri Indonesia. Versi lama: “bebas aktif”. Versi baru: Bebas Aktif 2.0 – bebas milih kawan, aktif kasih ceramah ke negara kuat yang doyan standar ganda.
Prabowo: Panglima Retorika Global Selatan
“Mengikuti yang kuat itu keliru,” kata Pak Presiden di Rusia.
“Rusia dan China itu membela yang tertindas,” tambahnya.
Gareng: “Wah, kalau begini, posisi kita makin jelas: bukan ikut blok Barat, tapi juga gak ikut blok Timur. Kita ikut…blok-blokan di TikTok.”
Petruk: “Tenang, Geng. Yang penting kita aktif. Meski aktifnya baru sebatas komentar di forum internasional.”
Pak Prabowo ini kayak stand-up comedian diplomasi, lho. Ia bisa berdiri di podium Barat, Timur, Selatan, bahkan Tenggara, tapi tetap kasih punchline yang bikin diplomat mikir. Katanya, kapitalisme bikin kaya dikit orang, sosialisme bikin miskin semua orang. Solusinya? Jalan tengah.
Begitu juga diplomasi. Mau Barat, Timur, Selatan, Utara—Indonesia tetap berdiri di tengah panggung, sambil ngangkat mikrofon.
Bebas, Tapi Berani: Simpati ke Timur, Sindir ke Barat
Kalau zaman dulu diplomat kita kayak sopir angkot: bebas ke mana aja asal gak nabrak.
Sekarang? Sopirnya bawa GPS ideologi.
Jalan bebas tetap dipegang, tapi beloknya mulai condong ke arah Timur, alias ke Rusia-China.
Pak Prabowo bilang:
“Kita bagian dari Global South. Negara yang gak punya hak veto, tapi punya hak veto moral.”
Sindiran ini dapet banget. Negara-negara kuat yang doyan ngatur dunia tapi gak pernah mau diatur.
Petruk: “Jadi kita ini kayak wasit bola, tapi gak dikasih peluit. Cuma ngasih tatapan tajam aja.”
Gaya Baru, Risiko Baru
Yah, namanya juga jalan baru, pasti banyak lobangnya.
Risiko 1: Disangka condong ke Rusia-China.
AS dan sekutunya bisa manyun. Eh, nanti ekspor kita kena imbas, lho.
“Mau kirim kopi ke Eropa, malah dicegat gara-gara kita kebanyakan ngopi bareng Putin.”
Risiko 2: ASEAN bisa bingung.
Kita bilang “netral”, tapi gaya kita kayak “abang-abangan” buat poros Timur.
“Laut China Selatan bisa jadi kolam renang geopolitik kalau ASEAN mulai curiga.”
Omdo atau Konsisten? Itu Pertanyaannya
Gareng: “Pidato Pak Prabowo itu berani, Geng. Tapi aksi nyatanya belum kelihatan. Udah ngajak damai belum di Gaza? Ukraina? Atau Laut China Selatan?”
Petruk: “Ya belum. Tapi sabar. Mungkin Indonesia masih nyari celah buat mediasi sambil ngopi.”
Yup. Kata kuncinya: konsistensi. Kalau memang mau jadi game changer dunia, ya harus aktif bukan cuma di mic, tapi juga di lapangan.
Ngundang perundingan, ngebukain forum damai, dan tetap senyum di dua sisi meja.
Kesimpulan: Diplomasi Rasa Soto Campur
Bebas Aktif 2.0 ini kayak soto campur: ada kuah Timur, topping Barat, tapi tetap dimakan di warung sendiri.
Dan kita, rakyat Indonesia, nonton sambil makan kerupuk, nunggu:
“Apakah retorika ini bakal jadi nasi diplomasi buat perut rakyat? Atau cuma gorengan konferensi internasional?”
Salam dari Cimahi, di mana politik luar negeri dibahas di warung kopi sambil main catur.
Gareng dan Petruk sepakat:
“Yang penting, Indonesia bukan boneka. Tapi juga jangan jadi badut. Jadi moderator dunia itu jauh lebih elegan.”
📍 GarengPetruk.com – Berita dengan gaya santai, isi tajam, dan tawa yang bikin mikir.
#BebasAktif2_0 #DiplomasiNgopi #PrabowoStyle #GeopolitikLucuLucuanSerius















