Jakarta – Di tengah dunia yang makin sibuk bikin undang-undang tapi lupa menegakkan keadilan, ada satu peristiwa yang bikin hati mendingan: ulang tahun Yayasan Rawinala yang sudah setengah abad lebih menerangi anak-anak bangsa dengan cinta yang gak pake syarat—apalagi pasal.
Kali ini, bukan cuma lilin yang dinyalakan, tapi pelita kemanusiaan yang berkobar di tengah kegelapan. Dan siapa sangka, tamu istimewanya adalah rombongan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas MPU Tantular yang bukan hanya datang membawa bunga hukum, tapi juga membawa senyum, kasih sayang, dan nyanyian dari hati.
Dipimpin oleh Ibu Dosen Serepina Tiur Maida, yang katanya kalau nyentil mahasiswa bisa bikin lebih sadar dari SKS 24 jam, para mahasiswa datang bukan buat debat yuridis, tapi buat berbagi pelukan dan cahaya. Sebuah pemandangan langka: calon pengacara masa depan memeluk anak-anak dengan mata tertutup tapi hati terbuka. Petruk sampai berkaca-kaca, padahal biasanya dia cuma nangis kalau pulsa habis.
Irwan, sang Ketua Panitia, menyampaikan sambutan yang bikin suasana makin haru-biru. “Kami tersentuh. Mereka yang hidup dalam kegelapan, justru mampu melihat dengan cahaya Tuhan. Ini bukan kegiatan sosial, ini pelajaran hidup,” ucap Irwan dengan suara yang nyaris lebih lantang dari pasal KUHP.
Sementara itu, Ibu Dosen, dalam pidatonya yang lebih menusuk dari kritik DPR, menyampaikan, “Saya rasa, persembahan-persembahan seperti ini perlu lebih sering dilakukan demi kemanusiaan. Ini penting agar anak-anakku, para pejuang hukum masa depan, selalu membawa empati dan simpati dalam setiap langkah hukum yang mereka tempuh.”
Wah, kalau semua sarjana hukum punya hati begini, mungkin pengadilan kita bakal jadi taman bermain keadilan, bukan tempat adu argumen dan tukar pasal.
Acara berlangsung hikmat, ceria, dan penuh makna, dari penampilan musik, permainan interaktif, sampai doa bersama. Tidak ada debat konstitusi, tapi ada debar-debar cinta kasih yang menembus batas visual.
Gareng bilang: “Kalau hukum itu buta, ya Rawinala itu yang ngajarin kita gimana caranya melihat pakai hati.”
Petruk nambahin: “Dari pada pasang baliho caleg, mending pasang niat tulus bantu sesama.”
Sebagai penutup, seluruh mahasiswa berjanji: “Kami akan selalu menjadi teman, keluarga, dan pelita yang menerangi jalan saudara-saudara kami di Yayasan Rawinala.”
Nah lho, siapa bilang hukum itu kaku? Di Rawinala, hukum dan kasih sayang bisa berdansa bersama—dan ternyata itu lagu paling indah di tengah hiruk pikuk zaman yang sering lupa apa itu nurani.
Salam Gareng & Petruk: Kalau tanganmu tak bisa memberi, minimal jangan ambil milik orang lain. Kalau mata hatimu terbuka, maka kegelapan pun akan malu untuk tinggal lama.