Garengpetruk.com – Jember, 3 Juli 2025.
Pagi-pagi di Dusun Kaliputih, Rambipuji, suasana jalan mendadak heboh. Bukan karena ada diskon seblak atau konser dangdut, tapi karena ada “eksekusi warung”. Bukan sinetron, bukan juga FTV, tapi drama nyata: pembongkaran warung-warung liar di atas tanah Perhutani. Warung yang dulunya hidup dari kopi sachet dan gorengan, hari ini dibongkar oleh 70 personil gabungan: Satpol PP, TNI, PUBM, PLN, dan yang tak kalah penting… realita kehidupan.
Program ini bagian dari proyek pelebaran jalan Provinsi, dan sayangnya, si warung-warung kecil itu berdiri di tanah yang bukan hak milik. Ada yang dari warga setempat, tapi ada juga yang, katanya, dari luar kecamatan, bahkan luar kabupaten.
“Warungnya permanen, tapi izinnya sementara, itu pun entah izin dari siapa,” ujar Petruk sambil nyengir getir.
Pembongkaran bukan semata soal tembok, tapi juga soal perut
Pukul 09.00 WIB, eksekusi dimulai. Tak ada keributan, tak ada saling dorong, karena sebagian besar warga sudah membongkar warungnya sendiri sejak sebelumnya.
Tapi jangan kira semua pasrah, lur. Di balik ketenangan itu ada wajah lelah, pasrah, dan harap.
Bu Watik, pemilik salah satu warung, dengan nada tegar bilang:
“Kami sadar kami hanya numpang, ini tanah negara. Tapi kami cuma ingin nyambung hidup, Mas. Anak saya dua, sekolah masih jalan. Kalau gak jualan, mau makan apa?”
Sementara itu, Bu Etik, warga yang menonton dari balik warung teh manis, mengaku antara senang dan iba.
“Warungnya orang luar daerah, jadi ya wajar dibongkar. Tapi semoga warga sini dapat tempat baru buat jualan, katanya mau disediakan tempat sewa.”
Nah lho, katanya. Kalimat paling multitafsir dalam politik dan pembangunan!
Siapa bangun, siapa jual?
Menurut Agus dari Perhutani, awalnya cuma ada dua warung, tapi lama-lama jadi kayak pasar malam.
“Banyak dari luar daerah, bangun warung, terus disewakan, bahkan dijual! Kami gak pernah kasih izin, apalagi narik retribusi. Ini udah kayak mafia gorengan.”
Dan ketika pemilik warung ditawari solusi: bongkar sendiri, sebagian malah ngajak debat. Untung datang kabar manis dari provinsi: jalan mau dilebarin! Maka dengan dasar pembangunan, semua warung pun dibabat tuntas.
Camat bilang: demi pembangunan dan rapi-rapi
Camat Rambipuji, Pak Djoni Nurtjahjanto SH, menjelaskan dengan tenang:
“Ini program provinsi, kita bantu laksanakan. Sudah dilakukan pendekatan. Yang nurut langsung bongkar, yang ngeyel ya… ya gitu deh.”
Beliau juga bilang, harapan ke depan adalah menciptakan tempat jualan UMKM lokal yang lebih tertib, rapi, dan berizin. Biar gak cuma rapi jalannya, tapi juga rapi nasib rakyatnya.
Catatan dari Gareng & Petruk:
Pembangunan itu penting, pelebaran jalan memang dibutuhkan. Tapi jangan lupa, di balik bangunan liar itu ada hidup yang berjuang secara liar juga.
“Negara harus hadir bukan cuma saat ngukur tanah, tapi juga saat rakyat kehilangan tempat jualannya,” celetuk Gareng sambil ngelap air mata pakai kwitansi warung.
Semoga janji-janji manis tentang tempat jualan yang baru tidak berhenti di spanduk peresmian. Rakyat kecil butuh lebih dari sekadar empati—mereka butuh tempat, kesempatan, dan harapan.
Karena kalau warung-warung kecil digusur tanpa solusi, lama-lama bukan cuma jalan yang lebar, tapi juga jurang ketimpangan sosial makin lebar!
Redaksi Harian Nasional Gareng Petruk
“Membangun boleh, asal jangan merobohkan harapan kecil yang masih berdiri di pinggir-pinggir hidup.”















