Jakarta, garengpetruk – Peringatan Hari Anak Nasional setiap 23 Juli sejatinya bukan sekadar seremonial dengan balon warna-warni dan lomba mewarnai. Hari ini sejatinya adalah momen refleksi bagi kita, para orang tua, guru, dan siapa pun yang ikut ambil bagian dalam “pabrik masa depan” bernama pendidikan anak.
Ada satu kalimat yang selalu relevan, bahkan makin terasa dalam dunia yang penuh distraksi ini: “Anak adalah peniru ulung.”
Kalimat ini bukan retorika. Ia adalah realita yang diam-diam membentuk karakter bangsa di masa depan. Anak-anak belajar bukan hanya dari buku, tapi terutama dari kehidupan—dari kita, orang dewasa di sekitarnya.
Jika Anak Belajar dari Amarah, Ia Tumbuh dengan Marah
Pakar pendidikan sejak dulu sudah mengingatkan bahwa karakter anak dibentuk dari apa yang ia lihat dan rasakan setiap hari. Berikut beberapa contoh nyata:
-
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
-
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.
-
Jika anak dibesarkan dengan kekerasan, ia belajar berkelahi.
-
Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia hidup dalam kegelisahan.
Jangan heran jika anak yang tumbuh di rumah penuh teriakan, kelak membawa amarah itu ke jalanan, ke media sosial, bahkan ke ruang-ruang kekuasaan.
Mendidik Itu Bukan Mengajar: Bukan Sekadar Tahu, Tapi Jadi Manusia
Pendidikan sejati bukan sekadar menyuapi anak dengan rumus dan hafalan, tapi mengubah perilaku, dari yang tidak baik menjadi baik, dan dari yang sudah baik menjadi lebih baik lagi.
Maka, orang tua dan guru bukan cuma pengajar, tapi pendidik karakter. Ia harus bisa menjadi:
-
Educator (pemberi arah)
-
Motivator (pemberi semangat)
-
Fasilitator (penyedia jalan) …dengan sifat asah – asih – asuh.
Karakter Itu Tidak Instan: Perlu Proses, Keteladanan, dan Kesabaran
Presiden Soekarno pernah berkata, “Tak ada pembangunan bangsa tanpa pembangunan karakter.”
Mahatma Gandhi bahkan menyebut pendidikan tanpa karakter sebagai salah satu dari seven deadly sins of society.
Maka, pendidikan karakter itu penting. Ia harus dimulai dari:
-
Pembelajaran
-
Keteladanan
-
Penguatan
-
Pembiasaan
Nilainya? Ambillah dari 4 sumber utama:
-
Agama
-
Budaya
-
Pancasila
-
Tujuan pendidikan nasional
Friedrich Foerster & 4 Ciri Pendidikan Karakter Sejati
Jauh sebelum kita ribut soal kurikulum, Friedrich Foerster—pakar pendidikan Jerman abad ke-19—sudah mengingatkan bahwa pendidikan karakter harus mengajarkan:
-
Rasa hormat pada nilai dan norma
-
Rasa percaya diri untuk menghadapi hal baru
-
Otonomi diri (menghayati aturan)
-
Keteguhan memegang komitmen
Menuju Indonesia Emas 2045: Siapkah Kita Mendidik Anak dengan Benar?
Indonesia menargetkan menjadi negara maju di tahun 2045. Tapi siapa yang akan memimpin saat itu? Anak-anak kita hari ini. Maka, jika hari ini kita salah mendidik, masa depan bangsa bisa dibajak oleh karakter yang lemah.
Ingat, anak tidak tumbuh dari perintah, tapi dari teladan.
Kalau kita ingin Indonesia yang adil, damai, jujur, dan hebat—jadilah dulu orang tua dan guru yang adil, damai, jujur, dan hebat.
Keluarga adalah Madrasah Pertama dan Terbaik
Hari Anak Nasional adalah alarm. Bukan hanya untuk sekolah dan kementerian, tapi untuk dapur, ruang tamu, dan kamar tidur kita. Di sanalah anak-anak merekam gaya bicara kita, gestur kita, pilihan kata kita. Maka, jangan heran jika anak menjadi seperti kita. Karena memang mereka sedang meniru.
Selamat Hari Anak Nasional.
Mari jadi teladan, bukan hanya penceramah.
Karena masa depan bangsa sedang menatap dan merekam kita setiap hari.
















