Abstrak ala Petruk:
Integritas itu ibarat celana dalam—nggak kelihatan, tapi penting banget. Sayangnya, di banyak institusi, integritas malah cuma jadi dekorasi dinding, tulisan manis di spanduk, atau sumpah jabatan yang cuma kuat pas direkam kamera, tapi ambyar saat godaan amplop datang. Artikel ini mencoba menyentil dengan halus dan menyengat dengan sopan bahwa integritas itu bukan drama panggung lima babak, tapi pertunjukan seumur hidup—yang sayangnya, sering dimainin kayak sinetron striping: penuh tangis palsu dan skenario korup.
Pendahuluan: Jangan-Jangan Kita Cuma Pura-Pura Jujur
Dalam kamus moral, integritas itu artinya mikir, ngomong, dan bertindak yang bener. Tapi dalam praktik lapangan, seringkali cuma mikirnya aja yang bener, ngomongnya asal manis, tapi tindakannya? Walah, kayak semut nyolong gula—rajin, rapi, tapi ngisruh! Kata alm. Artidjo Alkostar, “Kejujuran itu nggak ada sekolahnya, harus dihidupkan.” Tapi sekarang, banyak yang malah ‘menghidupkan’ ketidakjujuran pakai listrik negara. Hemat energi, boros nurani.
Korupsi: Warisan Budaya yang Tidak Diakui Tapi Dilestarikan
Korupsi itu bukan budaya, katanya. Tapi lho kok ditiru terus? Dari tingkat RT sampai kantor kementerian, dari pengadaan ATK sampai proyek infrastruktur, semua bisa kena ‘penyakit dalam’ bernama tipikor stadium empat. Anehnya, makin banyak lembaga anti-korupsi, makin marak yang nyolong. Kayak orang pasang CCTV, tapi kameranya ngadep ke tembok.
Kalimat “Demi uang, kehormatan melayang” bukan cuma pepatah, tapi laporan harian. Korupsi besar itu lahir dari korupsi kecil yang dibiarkan tumbuh kayak benalu di pohon negeri ini. Di seminar, semua bilang “Stop korupsi!” Tapi begitu seminar selesai, bingkisan goody bag lebih mahal dari materi acaranya. Lah ini seminar atau festival gratifikasi?
Pakta Integritas: Tinta Mahal Tapi Tak Berisi
Pakta integritas itu seharusnya kontrak nurani, bukan dekorasi formalitas. Tapi nyatanya, banyak pejabat yang tanda tangan pakta integritas sambil ngelirik jam tangan Swiss KW super. Das sollen dan das sein ibarat suami istri LDR—susah ketemu. Maka tak heran, integritas hanya hidup sebagai font Times New Roman 12 di lembar kertas A4, bukan sebagai denyut kehidupan dalam birokrasi.
Dua Wajah Integritas: Formal vs Substantif
Menurut KPK, integritas ada dua: formal dan substantif. Yang formal itu patuh aturan, kayak anak pramuka waktu upacara. Tapi yang substantif itu patuh hati nurani, kayak ibu guru TK yang ikhlas ngajarin anak sambil nyapu kelas. Tapi di dunia nyata, yang sering muncul malah integritas kosmetik: luar tampak suci, dalam penuh cuci uang.
Keluarga: Pabrik Karakter atau Pusat Pelatihan Dalang?
Wahyudi (2020) bilang, keteladanan itu alat paling ampuh untuk pendidikan karakter. Tapi sekarang, banyak orang tua ngajarin jujur sambil nyuruh anak nyontek rumus SIMAK UI. Anak disuruh shalat lima waktu, tapi ayahnya bolak-balik ke proyek buat ngatur tender. Akhirnya, rumah tangga bukan lagi tempat menanam integritas, tapi jadi sarang pertama hipokrisi.
Reformasi Moral: Jangan Hanya Jadi Komoditas Pelatihan
Mengatasi krisis integritas tidak cukup dengan tumpukan modul pelatihan. Integritas itu bukan aplikasi yang bisa di-install pas workshop, tapi harus dijalani sejak dini. Kalau sistem penghargaan dan hukuman masih pilih-pilih kayak jurinya ajang pencarian bakat, ya jangan heran kalau integritas makin langka. Kejujuran harus jadi budaya, bukan bencana.
Integritas Adalah Proyek Sepanjang Usia
Membangun integritas bukan kerja bakti seminggu sekali. Ia harus jadi proyek nasional, lintas generasi, lintas golongan, dan lintas kepentingan. Bukan cuma lewat slogan di punggung seragam ASN atau iklan layanan masyarakat yang ditonton sambil skip YouTube. Tapi harus hidup di tiap tarikan napas warga negara. Kalau tidak, negeri ini akan terus memproduksi pejabat penuh retorika, miskin logika, dan minus etika.
Sebagai kata akhir, biar Gareng yang bersuara:
“Wong pinter saiki akeh. Tapi sing jujur? Kayak nyari jarum di tumpukan proposal proyek!”
Hidup jujur itu berat, makanya banyak yang males. Tapi, ‘mau mujur, hidup jujur!’—kata penulis”
Salam dari redaksi,
Harian Nasional Gareng Petruk
Edisi Khusus: Integritas Jangan Cuma Di-Print, Tapi Dihidupkan!
Oleh: E. Handayani Tyas