Batu, 11-6-2025 —
Jaman makin canggih, tapi nasib milenial makin terjepit, Cak. Handphone sudah bisa ngatur AC, kulkas bisa kasih tahu stok tempe habis, tapi beli rumah? Wah, itu masih sebatas mimpi—dan kadang lebih absurd dari mimpi ketemu mantan sambil naik odong-odong.
Iya, ini soal milenial. Generasi yang katanya paling melek teknologi, paling kreatif, tapi juga paling sering kejebak kontrakan. Harga rumah naik kayak roket Elon Musk, tapi gaji? Masih jalan kaki sambil nyekar harapan.
Dulu Rumah Warisan, Sekarang Rumah Waras Aja Susah
Dulu orang tua kita beli rumah umur 30 udah punya dua petak dan sepeda motor. Sekarang? Milenial umur 30 baru bisa beli rak sepatu dari marketplace, itu pun cicilan 3 bulan. Lha piye, gaji stagnan, harga tanah melonjak lebih tinggi dari cita-cita waktu kecil jadi astronot.
Bayangkan, rumah 6×10 di pinggir kota udah seharga mobil bekas pejabat. Dan jangan tanya yang di tengah kota—harga tanahnya bikin dompet langsung ngaji istighfar.
Solusi Pemerintah: Suruh Nabung, Padahal Uang Parkir Aja Sekarang Cashless
Solusi yang ditawarkan kadang bikin tepok jidat: nabung! Lah, gimana mau nabung kalau beli kopi susu aja harus pakai promo paylater?
Kata mereka, “Tingkatkan keterampilan!” Lah, ini generasi udah bisa multitasking sambil kerja, ngedit video, dan jualan stiker WA, tetap aja nggak nyentuh DP rumah.
Ngatur keuangan? Sudah. Tapi penghasilan pas-pasan ditambah beban hidup yang makin drama, ya akhirnya ngatur itu cuma buat bayar utang bulanan. Sisanya? Ya… sisanya cuma harapan dan doa.
Rumah Terjangkau Itu Nyata… Tapi Cuma di Brosur Pameran
Katanya ada program rumah murah dari pemerintah. Tapi coba cek lokasinya? Kadang lebih jauh dari jarak hati ke mantan. Sudah gitu, akses jalan cuma satu jalur, kalau hujan dikit berubah jadi sungai dadakan.
Subsidi? Ada. Tapi prosedurnya ribet, bikin milenial yang biasa hidup serba instan langsung merasa hidupnya buffering. Dari KTP, KK, slip gaji, NPWP, foto selfie, surat keterangan belum punya rumah, sampai surat keterangan dari semesta bahwa kita niat beli rumah. Njlimet, Cak!
Pentingnya Intervensi Negara: Jangan Cuma Ngatur Warna Helm Ojol
Negara harus hadir bukan cuma di baliho atau akun Instagram kementerian. Tapi hadir nyata dalam kebijakan properti yang adil dan tidak membela pengembang doang.
Regulasi harga properti? Wajib! Masa tanah bisa naik 300% dalam 5 tahun tapi gaji naiknya 10% aja udah dianggap berkah?
Insentif pajak pembeli rumah pertama? Mantap! Tapi tolonglah disosialisasikan kayak promo diskon akhir bulan, biar semua ngerti, bukan cuma yang suka ikut seminar investasi.
Perumahan terjangkau? Monggo! Tapi jangan sekadar murah, harus juga aman, layak, dan nggak jauh dari peradaban. Karena rumah bukan tempat ngungsi, tapi tempat hidup dan bertumbuh.
Kolaborasi Multisektoral: Milenial Jangan Cuma Jadi Penonton
Masalah ini bukan cuma urusan pemerintah. Swasta juga jangan cuma jadi juru jual brosur rumah kluster “Mawar Indah Damai Sejahtera Bahagia Mulia Residence”—tapi pas dicari alamatnya, harus naik rakit dulu.
LSM, startup, dan milenial sendiri perlu bersatu. Bikin advokasi. Bikin tekanan. Jangan cuma nyinyir di medsos, tapi ikut forum, kasih masukan. Karena kalau bukan kita yang bersuara, bisa-bisa kita cuma dikasih jawaban template: “Rumah itu investasi jangka panjang.”
Penutup: Rumah Bukan Sekadar Bangunan, Tapi Simbol Keadilan Sosial
Gareng dan Petruk sepakat, rumah itu bukan cuma tempat tidur dan naruh galon. Rumah itu simbol: bahwa rakyat dilindungi, bahwa negara hadir, bahwa mimpi boleh dikejar dan diwujudkan.
Tapi kalau milenial hanya bisa punya rumah lewat undian, hadiah kuis, atau jadi seleb TikTok, berarti ada sistem yang perlu diperbaiki.
Jangan sampai, satu-satunya rumah yang bisa dimiliki milenial… cuma rumah di Metaverse.
—
Semoga tulisan ini menyengat kayak satire, tapi juga menghangatkan kayak pelukan emak pas kita bilang, “Mak… kontrakan naik lagi.”