Klaten – Jalan raya Pedan-Trucuk, tepatnya di Desa Keden, mendadak jadi tempat wisata aroma. Tapi jangan salah kira—bukan aroma bunga melati atau kopi robusta, tapi bau menyengat khas sampah rumah tangga: dari plastik, kertas, sampai bekas soto yang gagal move on dari meja makan.
Petruk yang iseng-iseng lewat Jum’at pagi sambil ngelus dada (karena dada orang bijak katanya lapang), langsung nyeletuk:
“Iki jalan umum, opo TPS darurat, to Le?”
—
Sampah Turun dari Langit? Bukan. Ini dari Motor Subuh!
Warga setempat, Pak Ontoseno, Ketua RT yang jenggotnya lebih teratur dari jadwal petugas kebersihan, mengeluh keras:
“Mas, iki wes bertahun-tahun. Kita bersihin, besoknya muncul lagi. Kayak mantan yang nggak rela ditinggal mapan!”
Bu Joko, warga yang rajin ronda tapi bukan satpam, nambahin:
“Saya sering lihat, waktu subuh-subuh ada motor lewat, bawa kantong hitam, dilempar begitu aja! Kayak kirim karma!”
Petruk langsung menyimpulkan, “Berarti iki kasus sampah lintas desa.”
—
Pemerintah Desa Sudah Turun Tangan, Tapi Tangan Pendek?
Pak Kusnanto, perangkat desa Keden yang tampil santai tapi serius, menjelaskan:
“Kami sudah bersihkan, bahkan pasang spanduk larangan buang sampah. Tapi entah kenapa, spanduknya dibaca seperti meme—dilihat, ditertawakan, terus dilanggar.”
Memang, spanduk bertuliskan “Dilarang Buang Sampah di Sini” kadang fungsinya mirip tulisan “Jangan Parkir”—yaitu memperjelas lokasi buat yang suka melanggar.
—
Krisis Akhlak atau Krisis Tempat Sampah?
Masalah ini bukan cuma soal volume sampah, tapi volume kesadaran warga. Petruk nyeletuk tajam tapi nyantai:
“Nek orang pinter buang sampah di tempatnya, itu biasa. Tapi nek orang buang sampah sembarangan sambil ngaji di speaker motor, kuwi kontradiksi nasional!”
Lagi-lagi, kita dihadapkan pada drama klasik: sampah makin canggih, manusia makin cuek. Tempat pembuangan sampah tak memadai, tapi tangan-tangan tak bertanggung jawab tetap rajin titip dosa di pinggir jalan.

—
Solusi? Jangan Cuma Spanduk, Tapi Edukasi dan Aksi!
Petruk menyarankan—dengan nada serius tapi tetap gaya Petruk:
1. Pemerintah kabupaten harus turun tangan, bukan cuma lempar wacana.
2. Sediakan tempat sampah resmi di lokasi strategis.
3. Kampanye sadar lingkungan jangan cuma pas Hari Bumi.
4. Pasang CCTV atau jebakan moral: misalnya, tiap buang sampah sembarangan langsung disounding ceramah Gus Baha.
Dan yang paling penting: anak-anak jangan cuma diajari buang sampah di tempatnya di sekolah, tapi harus lihat contoh di rumah. Karena percuma hafal Pancasila kalau plastik mie instan masih dilempar ke selokan.
—
Petruk Menutup:
“Sampah itu bukan salahnya sendiri. Dia tak bisa jalan, tak bisa terbang, tak bisa lompat. Tapi bisa pindah tempat—karena manusia. Jadi, kalau hari ini pinggir jalan bau dan jorok, jangan salahkan angin atau hujan. Salahkan tangan-tangan malas yang tak kenal tempat dan waktu.”
—
Eko Setyo & Gareng Petruk – Melaporkan dari Klaten, sambil pakai masker bukan karena flu, tapi karena bau sampah.
📌 Catatan: Mari jadi warga yang tak cuma pintar selfie di taman, tapi juga pintar buang sampah di tempatnya. Negara maju bukan soal teknologi, tapi soal kebiasaan baik yang sederhana.














