Jakarta – Di tengah langit Jakarta yang tenang dan halaman Istana yang megah, Senin, 3 November 2025, Presiden Prabowo Subianto menerima tamu yang tak asing di telinga publik: Ignasius Jonan, mantan Menteri Perhubungan era 2014–2016.
Namun pertemuan itu bukan sekadar nostalgia pejabat lama. Di ruang yang beraroma sejarah itu, dua tokoh bangsa ini bertukar pandangan tentang masa depan Indonesia — masa depan yang kini mulai berpihak pada rakyat kecil.
Jonan datang bukan membawa map laporan, melainkan ketulusan dan pengakuan.
Ia menyebut program-program kerakyatan Presiden Prabowo sebagai “manifesto kasih negara kepada rakyatnya.”
“Program Makan Bergizi Gratis itu bukan cuma makanan, tapi simbol cinta negara kepada perut yang lapar,” ujar Jonan dengan nada penuh empati.
Gareng yang mendengar itu mungkin nyeletuk, “Lha, betul to! Kalau perutnya kenyang, pikirannya waras, hatinya adem. Pemerintah pun bisa kerja tanpa diteriaki lapar tiap hari.”
Jonan melanjutkan, “Koperasi Desa Merah Putih” dianggapnya sebagai tiang penyangga ekonomi rakyat. Di tengah gempuran toko daring dan kapital besar, koperasi hadir seperti semilir angin desa — sederhana tapi menyegarkan kehidupan banyak orang.
“Koperasi ini bukan cuma soal uang, tapi soal rasa memiliki. Gotong royongnya terasa,” kata Jonan sambil menekankan pentingnya ekonomi berbasis kebersamaan.
Tak berhenti di situ, ia juga menyinggung “Sekolah Rakyat”, program pendidikan yang dirancang agar setiap anak desa punya kesempatan belajar tanpa dibatasi dompet.
“Sekolah ini bukan sekadar ruang belajar, tapi rumah bagi cita-cita anak-anak miskin yang ingin berdiri sejajar dengan dunia,” ujar Jonan.
Selain menyoroti sisi kemanusiaan, Jonan juga mengapresiasi langkah diplomasi Presiden Prabowo di panggung dunia.
Menurutnya, diplomasi Prabowo bukan diplomasi basa-basi, tapi diplomasi yang “berdiri tegak tanpa menunduk, tapi juga tidak menantang.”
“Beliau berhasil menjaga martabat bangsa di tengah badai politik internasional, sekaligus membuka peluang ekonomi yang nyata,” tambahnya.
Dari program rakyat hingga diplomasi dunia, Jonan menilai arah kepemimpinan Prabowo kini seperti kompas yang kembali menunjuk utara — bukan ke arah kepentingan segelintir, tapi ke kesejahteraan seluruh bangsa.
Dalam keheningan Istana Merdeka, terselip satu pesan tak terucap namun terasa:
masa lalu datang memberi hormat pada masa kini, dan masa kini menatap masa depan dengan percaya diri.
Kalau kata Petruk, “Lha iki baru pemimpin sing waras: mikir rakyat sambil ngajeni dunia, ora mung gaya tapi nyata.”
Catatan Gareng-Petruk:
Bila Prabowo menyiapkan jalan, dan Jonan mengingatkan arah, semoga bangsa ini tak lagi tersesat di simpang kepentingan. Karena di ujung jalan itu, rakyat kecil sedang menunggu — dengan harapan, bukan dengan tangan kosong.















