Hidup itu bukan cuma soal minta maaf setelah melukai hati orang lain. Apa gunanya, toh? Kalau maaf itu hanya sekadar formalitas karena takut kehilangan kursi empuk atau ketenaran di layar kaca. Hei, manusia! Ingat, harga hati dan harkat martabat manusia lebih tinggi dari sekadar pidato penuh gaya di podium.
Kadang, kita ini lucu. Terluka dulu, minta maaf belakangan. Tapi ya ampun, maafnya basi! Maaf yang lahir bukan dari hati, tapi dari kalkulator—itung-itung kerugian kalau popularitasnya jeblok. Hati-hati, rakyat itu cerdas! Mereka tahu bedanya permintaan maaf yang tulus dengan permintaan maaf yang “terpaksa karena kamera sudah nyala.”
Dan tentang Gus Miftah… ini lucu tapi nyesek! Karakter asli ulama itu baru kelihatan pas dia lagi duduk di singgasana jabatan atau dihujani sorotan popularitas. Dari yang dulu katanya tawadhu, mendadak jadi “Ulama Superstar”. Lisan yang dulu santun tiba-tiba berubah jadi tukang hardik—. Aduh, Gusti! Ampuni dan lindungi para ulama Kami dari sifat sifat yang demikian.
Rakyat jelata ini, Gus Miftah, bukan “pelengkap penderita” di panggung drama jabatan Anda. Mereka butuh pemimpin ruhani, bukan selebritas rohani. Kalau Anda lebih sibuk menjaga followers Instagram daripada menjaga hati dan lisan, ya jangan salahkan kalau jamaah Anda berpindah kiblat.
Coba bayangin, Gusti Allah lagi nonton Anda dari atas sana. Kamera-Nya HD, zoom-nya tanpa batas, dan nggak ada skrip yang bisa diedit. Di situlah karakter asli ulama diuji. Apa Anda tetap rendah hati, atau malah jumawa sampai lupa siapa yang dulu Anda panggil “saudaraku”?
Jadi, wahai para pemimpin ruhani yang sedang duduk di kursi mewah: Maaf itu mulia, tapi menjaga hati orang lain jauh lebih mulia. Jangan cuma bicara tentang surga, sementara kelakuan Anda bikin neraka terlihat penuh penghuni.
Lucunya hidup ini, kadang yang sok tinggi malah tergelincir sama sandal jepit rakyat kecil. Sungguh, hidup itu memang penuh plot twist! 😏
















