Wahai sedulur sekalian yang budiman, mari kita duduk ngopi sejenak, buang jauh-jauh pikiran kusut, dan mari kita omong-omong soal kritik seni. Tapi jangan bayangkan seperti dosen berbicara dari balik kacamata tebal dengan intonasi kayak lagu pengantar tidur. Ini kita bahas pakai gaya Gareng Petruk, yang nyeleneh tapi nyelekit, kocak tapi njleb, santai tapi sarat makna.
Kritik: Bukan Cuma Mulut Nyinyir di Warung Kopi
Jangan salah sangka, kritik itu bukan semata-mata soal ngomel, nyinyir, atau bacot nggak ada rem. Kritik yang sejati itu ibarat sambel pecel—pedes, tapi bikin nagih. Dalam seni, kritik itu pentingnya kayak sambungan kabel colokan: kalau nggak nyambung, ya mati gaya. Kritik seni bisa bantu kita nyadar bahwa lukisan abstrak bukan cuma coretan anak TK yang kelupaan mandi, atau patung telanjang bukan karena pematungnya males beli kain.
Kritik itu mengajak kita untuk melek, bukan sekadar melongo. Karena dalam tiap garis, warna, bentuk, atau gerakan tari, ada cerita, emosi, dan seringkali—sindiran halus terhadap dunia yang makin ruwet ini.
Kritik: Jalan Terjal Menuju Kebijaksanaan (Atau Minimal Kesadaran Diri)
Kritik itu kayak kaca benggala. Kadang kita lihat diri kita di situ, dengan segala ketidaksempurnaan yang selama ini ditutupin filter Instagram. Tapi dari situ juga kita bisa belajar. Ndak usah baperan, mas! Kritik seni itu justru ngajarin kita untuk nggak gampang sakit hati. Wong kalau seniman gampang ngambek gara-gara dikritik, mending pindah profesi jadi penjual onde-onde saja, itu jelas enak dimakan dan jarang dikritik!
Kritik yang baik bisa membentuk manusia yang nggak cuma bisa berkarya, tapi juga ngerti makna. Nggak hanya bikin seni yang wah, tapi juga woah!—membuat orang mikir.
Pengamat: Mata Elang, Hati Semut
Menjadi pengamat seni itu bukan cuma soal tahu perbedaan antara impressionisme dan ekspresionisme. Tapi juga tahu kapan harus kagum, dan kapan harus ngelus dada. Jadi pengamat itu butuh kejelian, ketajaman rasa, dan sedikit kemampuan menahan kantuk pas lihat pertunjukan tari kontemporer yang gerakannya kayak orang nyari kunci motor hilang.
Penilaian seni harus rasional, betul. Tapi bukan berarti kaku kayak pagar besi. Pakai akal sehat, tapi jangan hilangin rasa. Karena seni itu bukan hanya untuk dilihat—tapi juga untuk dirasa, direnungi, dan kalau perlu, dibalas dengan tanya: “Kenapa, to, senimannya bikin beginian?”
Isme-Isme: Bukan Nama Warung, Tapi Aliran Seni
Dalam dunia seni, kita akan ketemu yang namanya isme-isme: realisme, surealisme, minimalisme, sampai yang terakhir: ngasal-isme. Setiap isme adalah cara manusia berekspresi. Tugas kritik bukan cuma menilai, tapi juga memahami, menempatkan karya pada konteksnya. Jangan sampai seniman sudah jungkir balik bikin instalasi seni dari sabut kelapa dan panci bekas, eh, pengamatnya malah bilang, “Ini kayak tempat cuci piring rumah mertua saya.”
Kritik = Belajar Terus Menerus, Meski Kadang Dituduh Sok Tahu
Menulis kritik itu proses yang nggak ada habisnya. Hari ini kamu merasa pintar, besok dibantah muridmu sendiri. Tapi itulah asyiknya. Dari kritik, kita bisa lahirkan ide baru, pertanyaan baru, bahkan… musuh baru. Tapi tenang saja, musuh dalam dunia kritik itu bukan musuh berdarah-darah, tapi musuh pemikiran, yang bisa diajak debat sambil ngopi dan makan tahu petis.
Kesimpulan yang Tidak Terlalu Kesimpulan
Jadi, sedulur-sedulur yang sedang belajar mengkritik, dikritik, atau malah takut dikritik: sadarlah, kritik itu bukan makian. Kritik itu bukan bentakan. Kritik adalah bentuk cinta yang… agak keras. Kritik seni itu penting, bukan cuma untuk seniman, tapi juga untuk masyarakat. Biar kita tidak cuma jadi penonton, tapi juga pemikir, perasa, dan penanya.
Karena di negeri yang terlalu banyak baper dan terlalu sedikit refleksi ini, kritik seni bisa jadi oase. Tempat kita bercermin, bersendau-gurau, dan mungkin… berubah jadi lebih peka terhadap dunia.
Eh, tapi kalau dikritik jangan ngambek ya, Le. Mosok seniman dikritik langsung blokir WA pengamatnya. Lha piye toh?
Salam dari Batu,
Yang selalu ingin jadi tempat berpikir dan tertawa.
Gareng Petruk pun manggut-manggut sambil nyeletuk, “Kritik itu seperti sambel. Pedesnya nendang, tapi bikin nagih. Asal jangan sambel basi, bisa bikin sakit perut dan debat kusir sampai pagi!”















