Jakarta, di tengah hiruk pikuk ibu kota dan aroma kopi instan ruang rapat, dua pendekar tinta—Hendry Ch Bangun dan Zulmansyah Sekedang—akhirnya sepakat berdamai! Bukan karena kehabisan pulsa atau karena dijewer istri, tapi karena sadar: PWI bukan warung kopi milik sendiri-sendiri.
Mari kita mulai dari asal muasal lakon ini: Hendry, sang Ketua dari Kongres Bandung, dan Zulmansyah, sang Ketua dari Kongres Luar Biasa (alias Kongres “kudeta halus”), sempat bersitegang kayak benang kusut yang disetrika pakai setrika batin. Tapi malam Jumat (yang katanya malam keramat) 16 Mei 2025, keduanya duduk semeja. Bukan untuk adu jotos, tapi adu kata—dengan mediator Dahlan Dahi, anggota Dewan Pers, yang duduk di tengah-tengah bak wasit tinju yang juga bisa jadi ustaz.
Namanya juga Kongres, Bukan Kontes
Setelah negosiasi yang lebih alot dari daging rendang yang salah masak, terciptalah Kesepakatan Jakarta. Sebuah dokumen satu halaman, tapi beratnya seolah-olah seribu halaman skripsi mahasiswa tingkat akhir. Intinya? Kongres Persatuan PWI harus digelar paling lambat 30 Agustus 2025. Ingat ya, PALING LAMBAT. Jadi jangan sampai 31 Agustus, nanti wartawan bisa berubah jadi sastrawan karena terlalu lama menunggu.
Antara Ketulusan dan Kertas Bermaterai
Yang bikin garuk-garuk kepala tapi juga tersenyum geli adalah bagaimana kesepakatan ini penuh kalimat manis: “ketulusan,” “keikhlasan,” “persaudaraan.” Sampai-sampai Gareng Petruk sempat curiga ini draf naskah sinetron Ramadan, bukan pernyataan politik organisasi. Tapi kita apresiasi—lebih baik pakai hati daripada pakai batu.
Dokumen itu diteken dalam suasana penuh tawa. Mungkin karena lega, atau mungkin karena stempel materai-nya susah nempel. Tapi tak apalah, asal tawa itu tawa damai, bukan tawa sinis macam netizen +62.
OC dan SC: Bukan Boyband, Tapi Bisa Heboh Juga
Untuk Kongres nanti, dibentuk panitia bersama. Ada OC (Organizing Committee) dan SC (Steering Committee). Gareng Petruk sempat salah sangka, mengira OC dan SC itu nama duo penyanyi K-pop. Tapi ternyata ini serius: mereka akan ngurus jalannya Kongres. Mulai dari kursi peserta sampai mikrofon yang biasanya mati mendadak saat pidato penting.
Calon Ketua Umum Bebas Hambatan, Seperti Jalan Tol Saat Lebaran
Poin paling cetar? Semua anggota biasa bisa nyalon. Asal bukan anggota bayangan atau fans garis keras salah satu tokoh. Kalau ada hambatan administratif, katanya akan “dihilangkan”. Luar biasa. Kita doakan jangan sampai nanti semua calonnya malah ngaku “dihambat” biar bisa langsung lolos. Jangan-jangan nanti calon yang gak ikut daftar juga bisa menang karena semangat keikhlasan terlalu tinggi.
PWI = Persatuan Wartawan Indonesia, Bukan Pecah Wartawan Indonesia
Akhir kata, Gareng dan Petruk ngelus dada sambil ngopi. Lega. PWI kembali ke jalur persatuan, bukan jalur rebutan. Di negeri yang sering kelebihan drama tapi kekurangan solusi, berita damai ini seperti nasi padang gratis: mengenyangkan dan menyenangkan.
Semoga Kongres nanti tidak jadi sinetron bersambung. Dan semoga PWI benar-benar kembali jadi rumah besar wartawan, bukan rumah kontrakan yang tiap tahun ganti penghuni karena rebutan kunci.
Hidup wartawan! Tapi jangan lupa: hidup juga nurani, karena tanpa nurani, wartawan cuma tukang ketik.
Tamat lakon, lanjut kopi.















