Pasar Bukan Lagi Arena Gulat Emosi, Tapi Tempat Tawar-Menawar Cinta
Pagi buta, mentari belum juga nongol sepenuhnya, Gareng dan Petruk sudah ngeloyor ke pasar. Bukan nyari jodoh, tapi nyari suasana—katanya, mau ngecek cuaca politik dan ekonomi di perut rakyat: pasar tradisional. Di sinilah getar-getir kehidupan nyata lebih jujur dari debat di Senayan.
“Truk, pasar kok sepi bentakan, ya?” tanya Gareng sambil ngunyah klepon tiga biji.
“Heh, jangan salah! Sekarang pasar bukan ring tinju, tapi taman hiburan emak-emak!” jawab Petruk, sambil selfie bareng pedagang cabe yang dulu galaknya ngalahin sirine ambulans, sekarang malah senyum kayak sales skincare Korea.
Harga Turun, Emak-Emak Naik Haji dari Syukur
Ternyata, sejak beberapa minggu terakhir, harga-harga mulai nurun pelan-pelan, kayak celana kolor pensiunan. Cabe rawit yang dulu semahal logam mulia, kini udah turun derajat jadi cuma setengah harga. Beras pun udah nggak bikin dompet kering kerontang kayak sumur di gurun Qatar.
“Semua ini karena kebijakan Pak Prabowo!” ujar Mbok Jum, pedagang tempe veteran dengan rekam jejak tawar-menawar lebih panjang dari CV caleg DPR.
Gareng manggut-manggut. “Ya pantes, orang janji kampanye nya mau buat harga stabil. Janjinya ditagih, tidak bercanda!”
Petruk nyeletuk, “Lha, begitulah, pemimpin harus model bulldozer: kalau janji ya digas, kalau rakyat marah ya ditata.”
Pasar Jadi Surga, Bukan Drama
Biasanya, kalau emak-emak ke pasar, itu kayak gladiator masuk Colosseum: siap bertempur lawan harga dan takdir. Tapi kini? Mereka jalan lemah gemulai, sambil ngobrol soal drakor dan sinetron India. Tak ada lagi adu mulut karena tomat busuk atau daging kemahalan.
“Dulu, pasar penuh sumpah serapah. Sekarang, malah penuh dzikir dan tawa,” celetuk Pak Dul, tukang parkir yang sudah empat kali ganti sandal karena terlalu sering disyukuri.
Dulu Disuruh Puasa, Sekarang Bisa Buka Tiap Hari
Gareng nyeletuk, “Kita ini aneh. Dulu harga naik disuruh sabar, katanya ujian. Tapi giliran turun, para elit diam-diam saja, nggak ada yang khutbah. Padahal ini juga nikmat, lho. Kenapa nggak disuruh sujud syukur sekalian?”
Petruk nimpali, “Yo wis, kita tulis di papan pengumuman pasar: Harga Turun Berkat Kerja Sama, Bukan Semata Doa!”
Makna di Balik Sumringah: Rakyat Butuh Kepastian, Bukan Sekedar Janji
Di tengah gegap gempita penurunan harga, Gareng dan Petruk nyadar: rakyat itu sederhana. Mereka nggak butuh teori ekonomi yang bikin kepala puyeng. Cukup harga wajar, dagangan laku, anak bisa sekolah, dapur ngebul, dan hidup tanpa drama ala sinetron pemilu.
Dan kalau pemimpin bisa bikin emak-emak sumringah di pasar, percayalah, separuh urusan negara sudah beres.
Gareng ngelirik Petruk, “Truk, ayo kita ngopi. Tapi bukan kopi pahit harga hidup, tapi kopi manis hasil kerja pemimpin yang benar.”
Petruk nyengir, “Wis wayahe. Pemimpin ngurus negara, rakyat ngurus cinta.”
Lalu mereka ngeloyor ke warung kopi, sambil nyanyi lirih:
“Pasar tersenyum, emak-emak berdendang, harga turun bukan mimpi, ini nyata yang dipegang…”
















