WONOSARI, GUNUNGKIDUL – Di tengah angin semilir Gunungkidul yang sejuk tapi kadang menusuk (apalagi pas lihat status mantan), Pengadilan Agama (PA) Wonosari justru lagi panas-panasnya. Bukan karena AC rusak, tapi karena lonjakan angka perceraian yang makin bikin meja hakim berasap.
Data terbaru sampai Triwulan III tahun 2025 mencatat 902 akta cerai telah diterbitkan — alias naik hampir 6% dibandingkan tahun 2024 yang cuma 851 kasus. Kalau diibaratkan, angka ini seperti nasi goreng di angkringan: cepat naik, cepat habis, dan bikin semua orang pengin komentar.
Namun, di tengah badai perceraian yang makin “viral”, PA Wonosari tetap tegar kayak suami disuruh nyapu pas salah ngomong. Mereka memilih untuk fokus pada pelayanan prima, bukan drama rumah tangga.
⚖️ Layanan Prima di Tengah Perkara Rumit
Khoiril Basyar, S.H., Panmud Hukum PA Wonosari, ngomongnya mantap tapi penuh empati:
“Volume perkara memang meningkat, tapi standar pelayanan tetap kami jaga. Kami nggak bisa nyatuin semua rumah tangga, tapi kami bisa pastikan semua warga dilayani dengan baik.”
Kalimat itu disambut tepuk tangan dari staf yang mungkin baru selesai ngetik 12 berkas gugatan cerai dalam sehari. Dedikasi mereka jelas: walau tiap hari dengar kata “berpisah”, hati mereka tetap berkomitmen pada satu hal — pelayanan publik yang tak pernah patah.
💢 Tiga Pemicu Perceraian: Ekonomi, Cekcok, dan KDRT
Dari ratusan perkara yang ditangani, tiga faktor utama jadi biang kerok:
-
Ekonomi: uang kurang, sabar ikut menipis.
-
Perselisihan dan pertengkaran: dari debat bumbu dapur sampai perdebatan “siapa yang lebih cinta.”
-
KDRT: faktor yang paling serius, di mana cinta berubah jadi luka — dan luka itu bukan cuma di pipi, tapi di hati.
Kata salah satu staf (yang minta namanya disamarkan biar aman dari grup WA keluarga),
“Kadang kami sedih juga, Mas. Orang datang ke sini bukan buat senyum, tapi buat tanda tangan pisah. Tapi ya tugas tetap tugas, berkas harus kelar sebelum makan siang.”
🕊️ Humas PA Wonosari: Perceraian Itu Jalan Terakhir
Bapak Asep Ginanjar M. F., S.Sy., M.H., Humas PA Wonosari, yang senyumnya teduh meski tiap hari denger kisah duka, menegaskan:
“Kami tidak hanya memutus perkara, tapi juga berupaya mencegah perceraian. Edukasi, mediasi, dan komunikasi sehat kami dorong agar rumah tangga tidak berakhir di meja hijau.”
Beliau juga nyentil dikit:
“Angka 85,99% itu bukan sekadar statistik, tapi cerminan tantangan sosial. Kami berharap masyarakat bisa melihat bahwa perceraian bukan solusi, tapi kadang hasil dari komunikasi yang sudah lama padam — kayak lampu rumah yang lupa diisi token.”
📚 Edukasi Sebelum Putus
PA Wonosari kini gencar bikin program edukasi — bukan sekadar sosialisasi hukum, tapi juga kelas cinta rasional. Lewat kerja sama dengan lembaga masyarakat dan media lokal, mereka mengajarkan soal cara ribut yang elegan, komunikasi tanpa bentak, dan cara sabar menghadapi pasangan yang hobi ngatur tapi gak mau diatur.
Slogan internal mereka pun lucu tapi dalem:
“Sebelum tanda tangan akta cerai, coba dulu tanda tangan kesepahaman.”
💌 Pelayanan Boleh Formal, Hati Tetap Humanis
Dengan 902 perkara dalam sembilan bulan, PA Wonosari bisa aja stres berjamaah. Tapi mereka memilih melayani dengan hati, bukan sekadar cap stempel.
Seorang juru ketik muda bilang sambil senyum,
“Kadang saya mikir, kalau semua pasangan mau sabar lima menit lebih lama, mungkin saya bisa pulang tepat waktu.”

🌹 Akhirnya, Cinta dan Layanan Sama-sama Butuh Komitmen
Dari ruang sidang yang penuh tumpukan berkas, PA Wonosari mengirim pesan ke seluruh Gunungkidul:
“Kalau cinta sudah tak bisa disatukan, setidaknya jangan lupakan sopan santun.”
Mereka membuktikan, di tengah gelombang perpisahan, dedikasi tetap menyala.
Dan kalau pelayanan prima punya wajah, mungkin wajah itu mirip Pak Asep — tenang, teduh, dan siap mendengarkan curhat 10 orang berturut-turut tanpa pingsan.
🪶 Laporan dari Ernawan.k – Biro Klaten Harian Rakyat Jelata.
Slogan Edisi Ini:
“Kalau rumah tangga retak, jangan biarkan pelayanan ikut pecah.”















