Di sebuah kampung kecil bernama Sukadarma, tinggallah seorang nenek baik hati bernama Bu Siti. Beliau terkenal seantero kampung sebagai sosok yang suka menolong, ramah, dan selalu tersenyum, bahkan saat harga cabai naik 300 persen. Bagi warga, Bu Siti adalah ibu peri tanpa sayap yang selalu siap membantu. Namun, seperti pepatah “Air susu dibalas air tuba,” kebaikan Bu Siti suatu hari malah berbuah pahit. Kok bisa? Mari kita simak kisah ini.
Bu Siti dan Tetangga “Sok Manis”
Semua berawal dari kedatangan tetangga baru di sebelah rumah Bu Siti: Bu Ratna. Awalnya, Bu Ratna terlihat seperti warga biasa yang sopan, selalu menyapa setiap lewat depan rumah, dan tentu saja, selalu memakai senyum ala selebgram. Tak butuh waktu lama, Bu Siti pun merasa perlu mengenal lebih dekat tetangganya itu. “Biar makin akrab,” katanya.
Suatu hari, Bu Ratna curhat soal susahnya hidup. “Duh, Bu Siti, saya ini udah kerja keras tapi rezeki kok seret terus ya?” kata Bu Ratna sambil menunduk dramatis, seperti adegan di sinetron.

Bu Siti, yang hatinya selembut tahu kukus, langsung merasa iba. “Ya Allah, sabar ya, Bu. Kalau ada yang bisa saya bantu, bilang aja. Namanya hidup, kadang di atas, kadang di bawah. Kayak harga minyak goreng itu loh, kadang murah, kadang mahal, tapi tetap aja kita butuh.”
Sejak itu, Bu Siti sering bantu Bu Ratna. Mulai dari beras, gula, sampai duit buat bayar listrik pun dikasih. Karena Bu Siti percaya, kebaikan pasti dibalas kebaikan. Tapi apa yang terjadi? Plot twist!
Air Susu Dibalas Air… Komentar Pedas!
Beberapa bulan kemudian, warga kampung mulai melihat perubahan. Bu Ratna, yang dulu curhat tentang susahnya hidup, tiba-tiba jadi lebih sering nongkrong di salon dan belanja online. Warga heran, tapi Bu Siti tetap percaya, “Ah, mungkin rezekinya lagi lancar.” Sampai suatu hari, ada yang mengagetkan Bu Siti.
Suatu sore, ketika sedang duduk di teras sambil minum teh, Bu Siti mendengar obrolan dari ibu-ibu yang sedang ngerumpi di warung sebelah. “Eh, tahu nggak, si Bu Siti itu katanya suka ikut campur urusan orang. Kasih bantuan biar dibilang dermawan, padahal mau sok pamer!”
Bu Siti tersedak tehnya. “Loh, kok bisa gitu?” gumamnya sambil berusaha menenangkan hatinya yang tiba-tiba mendidih. Dari obrolan itu, Bu Siti mendengar bahwa Bu Ratna—yang sudah dibantunya berbulan-bulan—ternyata membalas kebaikannya dengan menyebar gosip. Katanya, Bu Siti cuma bantu biar dibilang baik sama warga, bukan karena tulus.
Drama Tetangga dan Sindiran Sosial
Mendengar gosip itu, Bu Siti tidak langsung marah. Sebaliknya, beliau berpikir, “Ah, mungkin Bu Ratna lagi khilaf.” Namun, gosip itu ternyata menyebar cepat. Warga mulai berbisik-bisik tiap kali Bu Siti lewat. Seolah kebaikannya kini berubah jadi sumber gunjingan. Ibu peri kita ini mulai berpikir, “Apa benar kebaikan di zaman sekarang dianggap aneh?”

Di satu sisi, ini menjadi sindiran telak bagi kita. Kebaikan sering kali dianggap sesuatu yang harus dibayar dengan curiga. Alih-alih berterima kasih, malah ada yang merasa terancam atau tak nyaman dengan kebaikan orang lain. Bisa jadi karena gengsi, bisa juga karena sudah terlalu terbiasa dengan sikap skeptis. Bu Ratna, dalam cerita ini, bukan sekadar sosok tetangga yang iri hati, tapi cerminan dari sebagian masyarakat yang tidak bisa menerima kebaikan tanpa berpikir negatif.
Bu Siti: Tetap Baik Meski Dibalas Tuba
Satu hari, Bu Siti didatangi salah satu tetangganya yang lain, Pak Jono. “Bu Siti, saya dengar Bu Ratna itu ngomongin yang nggak-nggak soal Ibu. Ibu nggak marah?”
Bu Siti, dengan senyum khasnya, menjawab, “Ngapain marah, Pak Jono? Orang yang baik, kalau dibalas jahat, bukan berarti dia harus berubah jadi jahat juga. Kebaikan itu milik kita, bukan hak orang lain untuk menilainya.”
Pak Jono terdiam. Jawaban Bu Siti itu sederhana tapi dalam. Sebuah sindiran halus bagi mereka yang berpikir kebaikan harus selalu dibalas setimpal. “Iya sih, Bu. Tapi kalau saya jadi Ibu, udah tak samperin tuh si Bu Ratna. Minta penjelasan, biar nggak seenaknya.”
Bu Siti tertawa kecil. “Nggak usah repot-repot, Pak Jono. Nanti juga orang bakal lihat sendiri siapa yang benar, siapa yang salah. Kalau saya balas lagi dengan marah-marah, apa bedanya saya sama dia?”
Pelajaran Moral: Jangan Takut Baik, Meski Dunia Kadang Pahit
Akhirnya, gosip tentang Bu Siti pun mereda. Warga kampung yang sempat termakan gosip mulai menyadari bahwa Bu Siti memang tulus dalam membantu. Sementara Bu Ratna? Dia akhirnya sadar dan meminta maaf pada Bu Siti, meski tetap saja ada rasa malu yang tersisa.
Cerita ini memberikan pelajaran penting: di dunia yang kadang lebih suka melihat drama daripada kenyataan, kebaikan bisa saja disalahpahami. Tapi seperti kata Bu Siti, kebaikan sejati itu milik kita sendiri. Dan ketika kita berbuat baik, jangan berharap balasan yang sama dari orang lain. Kadang air susu dibalas air tuba, tapi yang penting, kita tahu tujuan kita tetap jernih.
Jadi, apakah kita masih mau baik di dunia yang penuh curiga? Jawabannya ada di tangan kita. Tetaplah baik, karena dunia butuh lebih banyak “Bu Siti.”















