JAKARTA – Kalau soal terbang, bangsa Indonesia sebenarnya punya bakat bawaan sejak zaman wayang: Gatotkaca bisa terbang tanpa boarding pass, tanpa delay, dan tanpa disuruh bayar bagasi. Sayangnya, di dunia nyata, kita malah sering cuma jadi penonton di bandara, ngeliatin pesawat buatan orang lain yang lewat sambil bilang, “Wow… buatan siapa tuh?”
Nah, Senin pagi (11/8), di Perpustakaan Nasional, Marsekal (Purn) Chappy Hakim lewat “Pameran Tunggal Buku-buku Kedirgantaraan”-nya seperti mau bilang, “Hei… kita ini bangsa yang dulu bikin CN-235 sama N-250, bukan cuma kolektor pesawat bekas!”
Prof. Atip Latipulhayat, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, dalam sambutannya nyentil halus tapi pedas: pendidikan antariksa kita masih jauh di bawah… bahkan di bawah kursi pilot. Katanya, kita ini masih kebanyakan belajar kedirgantaraan dari kisah Gatotkaca dan kawan-kawan, bukan dari laboratorium dan hanggar.
“Seharusnya kita jadi penjual pesawat, bukan pembeli,” ujarnya, yang kalau diterjemahkan ala Gareng Petruk artinya: “Kok kita malah bangga jadi pelanggan setia, bukannya produsen?”
CN-235 dulu kita bikin bareng Spanyol. N-250, yang sempat bikin dunia melirik, lahir dari tangan insinyur-insinyur kita sendiri. Tapi sayang, reformasi keburu datang, dan mimpi terbang tinggi kita malah di-grounded.
Pameran ini menampilkan 50 buku karya Chappy Hakim yang, kalau dijajarkan, bisa jadi landasan pacu mini. Ada juga buku-buku untuk anak dari sang istri, Purparani Hasjim, biar dari kecil anak-anak kita kenal pesawat, bukan cuma kenal mainan “pesawat-pesawatan” di HP.
Turut hadir tokoh-tokoh yang kalau dibikin daftar penumpang bisa bikin manifest VIP: Kepala Perpusnas Prof. E. Aminuddin Aziz, Ketua Yayasan Obor Indonesia Kartini Nurdin, wartawan senior Nasir Tamara, diplomat senior Makarim Wibisono, Ketua JMSI Teguh Santosa, sampai Tommy Tamtomo.
Chappy Hakim sendiri, dengan nada campur prihatin dan berharap, bilang:
“Negara yang nggak peduli kedirgantaraan, jangan berharap bisa sejajar dengan negara maju.”
Kalau bahasa Petruk-nya: “Lha piye, kalau pesawat aja numpang orang, terus mau balapan sama pilotnya?”
Pameran ini cuma dua hari, sampai 12 Agustus 2025. Jadi kalau mau lihat, buruan. Soalnya buku-buku ini bisa bikin kita sadar: mimpi dirgantara Indonesia harus dihidupkan lagi, bukan cuma dipajang di rak sejarah atau dipamerin di karnaval HUT RI bareng replika Gatotkaca.
Chappy Hakim sendiri bukan tokoh sembarangan. Lahir di Jogja 1947, jebolan AAU 1971, pernah jadi Komandan Skuadron C-130, Gubernur AAU, hingga Kepala Staf TNI AU (2002–2005). Bahkan pernah jadi CEO Freeport Indonesia—buktinya dia bukan cuma bisa terbang di udara, tapi juga bisa mendarat di dunia tambang.
Moral cerita ala Gareng Petruk:
Kalau kita bisa bikin pesawat dari kayu di tahun 1947, masa di tahun 2025 ini kita masih nyari promo tiket di aplikasi?

















