Wahai para sedulur, para kadang pekerja, bos-bos, pejabat, dan netijen budiman—hari ini Gareng Petruk nulis bukan mau jualan sandal jepit atau promosi minyak pelet, tapi mau ngudarasa soal PHK yang meledak-ledak kayak petasan bantingan di Hari Buruh Nasional 2025.
PHK, singkatan dari “Pecat Habisan Karyawan” (versi bebas saya), bukan cuma bikin dompet kempes dan kepala pening, tapi juga bikin rakyat jelata mulai nyusun rencana buka usaha “es batu tangisan”—tiap serut es, satu tangisan buruh. Dijamin segar dan menyayat hati.
Lha piye? Wong kerja setengah mati, lembur ampe mata juling, tiba-tiba dikasih amplop kayak undangan manten, isinya: “Anda sudah tidak dibutuhkan.” Duh, rek! Itu bukan surat PHK, tapi surat patah hati nasional.
—
1. Bantuan Sosial, Tapi Jangan Cuma Buat Pencitraan
Petruk ora protes kalau pemerintah mau kasih bantuan. Tapi ya tolong, jangan pakai gaya superhero yang muncul pas pemilu doang. Kalau buruh lapar, mereka butuh sembako, bukan janji-janji manis kayak teh tarik. Bikin pelatihan kerja juga jangan cuma buat bahan liputan TV, tapi beneran bantu buruh bisa cari kerja baru.
2. Tripartit: Jangan Cuma Duduk-Duduk Sambil Ngopi
Gareng Petruk heran, tripartit itu katanya dialog antara pemerintah, buruh, dan pengusaha. Tapi kadang yang ngomong cuma pengusaha sama pemerintah, buruhnya malah disuruh nganter kopi. Lah terus itu dialog atau monolog? Ayolah, semua harus punya suara. Kalau suara buruh ditelen birokrasi, nanti yang keluar cuma sendawa, bukan solusi.
3. Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan: Jangan Cuma Ganti Nama
Kalau undang-undangnya masih mikirin investor tapi lupa sama nasib buruh, ya sama aja bohong. Harus ada perlindungan buat pekerja informal, yang gajinya bisa kayak pulsa darurat: cukup buat tiga hari, terus habis. Masa depan butuh UU yang ngemong, bukan yang cuma ngomong.
4. Industri Inklusif, Bukan Eksklusif Buat Kaum Elite
Pengusaha sekarang doyan ngomong soal AI, robot, dan digitalisasi. Tapi buruhnya masih disuruh nyapu pabrik pake sapu lidi. Gimana nggak jomplang? Industri harus mikirin cara biar buruh bisa naik kelas, bukan disingkirkan demi mesin yang gak pernah cuti.
5. Edukasi Hak Buruh: Jangan Cuma di Spanduk May Day
Kadang buruh nggak tahu kalau mereka punya hak. Lah gimana mau tahu, kalau sosialisasinya cuma waktu demo, terus habis itu ilang kayak mantan. Ayo dong, bikin edukasi hak buruh yang gampang dipahami. Jangan pake istilah hukum yang bikin otak keriting. Gunakan bahasa rakyat: “Kalau kamu didepak seenaknya, itu bisa kamu gugat!” Gitu aja kok repot?
—
PHK Itu Pahit, Tapi Jangan Sampai Jadi Gula-gula Penguasa
PHK itu kayak sambal pedas. Kalau dikit, bikin semangat. Tapi kalau kebanyakan, bisa bikin perut melilit dan negara ikut panas dingin. Maka dari itu, Gareng Petruk usul:
Bikin program rekonsiliasi tenaga kerja yang bukan rekonsiliasi pura-pura, tapi benar-benar nyambungin yang putus.
Lindungi buruh lewat asuransi dan bantuan, bukan cuma kasih semangat via medsos.
Dan yang paling penting: buruh juga manusia, bukan sekadar angka statistik dalam presentasi pejabat.
—
Evaluasi Jangan Cuma di Hotel Bintang Lima
Petruk tahu, pemerintah doyan rapat evaluasi di hotel mewah. Tapi yang dievaluasi kadang malah menu prasmanan, bukan hasil kerja. Evaluasi itu harus di lapangan: tanya langsung ke buruh, dengerin mereka, bukan cuma baca laporan. Wong laporan bisa dimake-up, tapi kenyataan di lapangan nggak bisa dimanipulasi.
—
Solidaritas: Buruh Bersatu, Jangan Malah Sikut-Sikutan
Terakhir, mari kita jaga solidaritas. Buruh bukan kompetitor, tapi saudara seperjuangan. Jangan mau diadu-domba pakai embel-embel bonus palsu. Kalau buruh bersatu, bos pun mikir dua kali sebelum main PHK. Kalau buruh tercerai-berai, ya tinggal tunggu waktu digilas mesin dan kebijakan ajaib.
—
Penutup ala Petruk
Hari Buruh 2025 ini mestinya jadi hari refleksi, bukan hanya demo hura-hura lalu bubar jalan. Kalau semua pihak mau benar-benar mikir dan kerja bareng, PHK bisa jadi peluang, bukan kiamat.
Ingat, kata Petruk:
“PHK iku kudu disikapi nganggo akal, dudu mung ngamuk sambil nyetatus galau. Sing penting, ojo nganti buruh mung dadi korban, tapi kudu dadi subyek perubahan!”
Kita semua kudu mikir: bukan soal siapa yang dipecat, tapi kenapa sistemnya bisa seenaknya memecat?
Monggo, kalau ada yang nggak sepakat, mari diskusi sambil ngopi. Tapi inget, jangan sampai garam dicampur di kopi, nanti asin uripmu.
Salam dari Gareng Petruk
Buruh bukan mesin, buruh juga bisa mikir. Lha Petruk wae iso nulis, masak sampeyan ora?
















