Tanah ini katanya tanah surga.
Gemah ripah loh jinawi. Kaya akan sumber daya, subur tanahnya, ramah rakyatnya. Negeri yang konon dilukiskan sebagai potongan surga yang jatuh ke bumi. Tapi mari kita buka mata, mari kita telanjangi realitas.
Lihatlah di sana.
Gelombang penganggur datang tak berhenti, seperti ombak besar menggulung industri, menyapu bisnis-bisnis kecil yang tersisa, melumpuhkan ekonomi bangsa yang katanya kuat. Bukan satu dua, tapi jutaan anak bangsa kini hanya bisa menatap langit kosong sambil menggenggam ijazah yang tak laku dijual.
Lihatlah di sana.
Rakyat berdiri mengular dalam antrean bantuan sosial. Satu dua karung beras dan selembar uang tak cukup mengisi perut hingga sebulan. Itu pun kadang datang, kadang tidak. Jika datang, sering terlambat.
Lihatlah di sana.
Petani menangis, bukan karena haru, tapi karena hasil panen yang mereka rawat siang malam tak lagi dihargai. Harganya jatuh di tangan tengkulak, di pasar yang dikuasai mereka yang tak pernah mencangkul.
Dan lihatlah pula para pejabat—berdasi rapi, berlidah manis saat kampanye, namun kering empati saat duduk di kursi kuasa. Mereka terlalu sibuk dengan proyek, sibuk dengan lobi-lobi, sibuk mengatur angka dalam lembar pengadaan.
Tanah surga, katanya.
Benar. Tapi hanya bagi mereka yang punya koneksi.
Tanah surga bagi yang bisa masuk istana lewat pintu belakang.
Tanah surga bagi mereka yang punya akses ke uang rakyat,
yang berangkat kerja dikawal mobil mewah dan sirine,
yang bicara hukum sambil menyembunyikan boroknya sendiri.
Ini tanah surga…
bagi koruptor yang hidup lebih sejahtera dari petugas kebersihan yang memungut sampah setiap pagi.
Ini tanah surga…
bagi mereka yang mempermainkan hukum, menjadikan keadilan sebagai alat dagang.
Tapi bagi kami—rakyat kecil—
Tuhan, ini tanah neraka.
Tanah tempat kami harus bertarung setiap hari hanya untuk makan.
Tanah tempat kami diperas pajak, tapi tak pernah merasakan imbal baliknya.
Tanah tempat kami diusir dari tanah waris kami sendiri demi pembangunan yang tak kami nikmati.
Tanah tempat kami dipaksa tunduk pada hukum yang hanya tajam ke bawah.
Kami yang berjalan ke kantor-kantor pemerintah yang dibangun dari keringat kami sendiri, hanya untuk dihina dan diabaikan.
Kami yang selalu dijadikan objek, tak pernah subjek.
Kami yang selalu diminta sabar, tapi tak pernah dimengerti.
Tuhan… benarkah ini tanah surga?
Atau, jangan-jangan, surga itu hanya dongeng,
dongeng yang disebarkan agar kami terus berharap,
terus diam…
dan terus tunduk.
















