Kalau dulu ada peribahasa “gajah di pelupuk mata tak tampak,” sekarang kami temukan versi upgrade-nya:
“Gajahnya terbalik, pelupuknya pakai filter, dan matanya sibuk ngeliatin konten Korea.”
Ya, ini bukan soal kebun binatang, tapi soal budaya, etika, dan nasionalisme yang makin hari makin mirip sinyal 3G — tertinggal, lemah, dan kadang ilang sama sekali.
Budaya Nusantara: Dijual Murah, Ditonton Asing
Grebeg Suro?
Sekaten?
Tari Piring?
Wayang Kulit?
Semua masih ada… tapi sekarang lebih sering jadi konten promosi wisata daripada napas keseharian.
Kita bangga nonton upacara adat di YouTube, tapi gak bisa bedain antara Angklung dan Ukulele.
Petruk nyeletuk:
“Kita itu kayak anak yang bangga sama neneknya, tapi malu ngakuin kalau neneknya dari kampung.”
Etika Digital: Maju Gadget, Mundur Tata Krama
Dulu, kalau ketemu orang tua, kita cium tangan.
Sekarang, ketemu orang tua langsung minta WiFi.
HP makin pintar, manusia makin sinis.
Senyum diganti emoji. Maaf diganti sticker.
Tanya kabar diganti “seen” biru yang menyakitkan.
Gareng ngelus dada:
“Kita ini bangsa dengan budaya sopan santun, tapi sekarang komentar netizen bisa bikin patung menangis.”
Budaya Asing: Masuk Tanpa Visa, Dijadikan Tuhan
Budaya asing itu seperti mie instan rasa keju truffle — awalnya eksotik, lama-lama bikin ketagihan, dan akhirnya kita lupa rasa pecel sayur.
Anak-anak sekarang lebih hapal nama-nama member boyband Korea daripada pahlawan nasional.
Kita bangga pakai jaket musim dingin di negara tropis, padahal keringetan sambil pura-pura stylish.
Petruk ngakak:
“Dulu kita perang rebut kemerdekaan. Sekarang kita rebut diskon belanja tanggal kembar dari aplikasi luar negeri.”
Nasionalisme? Masih Ada… di Caption 17 Agustus
Nasionalisme kita sekarang muncul setahun sekali, lalu kembali menghilang dalam tagar #OOTD dan #FYP.
Bendera dikibarkan, lagu kebangsaan dinyanyikan — sambil rekam TikTok.
Apakah salah? Tidak. Tapi kalau cinta tanah air hanya sebatas story, itu bukan cinta — itu konten.
Gareng nyeletuk:
“Merdeka bukan cuma bebas update status. Tapi juga bebas berpikir jernih, bebas menolak dibodohi, dan bebas bangga jadi bangsa sendiri.”
Gajah Terbalik: Kita yang Hilang Arah
Gajah itu besar, kuat, dan penuh wibawa. Tapi ketika dia terbalik, dia kehilangan arah.
Begitu pula kita: ketika budaya ditinggalkan, etika dilupakan, dan nasionalisme digantikan algoritma, kita hanya jadi penonton di negeri sendiri.
Petruk menutup:
“Kita gak anti kemajuan. Tapi jangan sampai maju ke depan sambil ninggalin akar. Karena pohon tanpa akar cuma bisa tumbang pas hujan.”
Disampaikan oleh Redaksi Gareng Petruk — karena kritik sosial itu bukan cuma tugas dosen filsafat, tapi juga tugas rakyat yang masih punya hati dan tawa.
















