GYEONGJU — Dunia lagi kumat bingungnya. Ekonomi goyang, politik global saling jegal, dan rasa curiga antarnegara makin tebal kayak tembok pembatas hati manusia zaman kini. Tapi di tengah kekalutan itu, Presiden Prabowo Subianto muncul dengan gaya khasnya—tegas, lurus, dan penuh rasa percaya diri—membawa pesan yang seolah menampar pelan dunia yang mulai kehilangan arah: “Bangun lagi kepercayaan, karena tanpa percaya, kita cuma kumpulan angka tanpa makna.”
Seruan itu meluncur lantang di APEC Economic Leaders’ Meeting (AELM) yang digelar di Hwabaek International Convention Centre (HICO), Gyeongju, Korea Selatan, Jumat (31/10/2025).
Nada suaranya bergetar bukan karena gugup, tapi karena getar semangat yang jarang keluar dari mulut pemimpin: “Asia Pasifik tidak boleh berhenti pada perpecahan. Kita harus bangkit, bersatu, dan bergerak bersama membangun masa depan yang lebih cerah,” ujarnya seperti dikutip Setpres RI.
Prabowo berbicara bukan sekadar diplomasi basa-basi. Ia seperti sedang menyalakan kembali lentera yang mulai padam di hati para pemimpin dunia.
APEC, katanya, sejak lahir didirikan atas semangat kerja sama dan keadilan ekonomi yang merata. Tapi zaman berubah—perdagangan jadi ajang saling sikut, politik jadi arena saling curiga, dan ekonomi global seakan diatur oleh siapa yang paling kuat memegang remote.
“Kita harus menjaga sistem perdagangan internasional agar tetap adil dan bermanfaat bagi semua,”
tegasnya, seolah sedang mengingatkan bahwa ekonomi tanpa moral hanya akan melahirkan kesenjangan.
Lebih jauh lagi, Prabowo menyoroti kejahatan lintas batas—penyelundupan, pencucian uang, hingga narkoba—yang ia sebut sebagai “penyakit kronis ekonomi modern”.
“Kalau dunia terus menutup mata terhadap itu,” katanya, “maka kita bukan lagi membangun peradaban, tapi menambal kapal bocor yang terus ditingkahi ombak keserakahan.”
Di ujung pidato, Prabowo tak sekadar menutup dengan janji diplomatik. Ia menutup dengan keyakinan filosofis:
“Kepercayaan adalah mata uang paling mahal. Saat dunia kehabisan emas dan dolar, hanya kepercayaan yang bisa menyalakan kembali ekonomi dan kemanusiaan.”
Dan di situ, hadirin hening sejenak. Entah karena kagum, atau karena tersadar: ucapan itu bukan sekadar retorika politik, tapi panggilan jiwa.
Prabowo tidak sedang bicara soal perdagangan semata, tapi tentang nilai—tentang bagaimana dunia bisa kembali jadi tempat yang bisa dipercaya oleh anak cucu kelak.
Dari Gyeongju yang dingin, Prabowo membawa pulang pesan yang hangat:
Bahwa Asia Pasifik tidak perlu jadi ajang rebutan, tapi jadi taman kerja sama.
Bahwa pertumbuhan bukan soal angka, tapi soal martabat.
Dan bahwa di tengah dunia yang makin bising, suara kepercayaan masih bisa menggema—asal diucapkan dengan hati yang jujur dan niat yang tulus.
🪶 Gareng bilang:
“Kalau dunia ini ibarat pasar malam, Prabowo lagi ngajarin para pedagang dunia buat jualan kejujuran, bukan tipu-tipu. Soalnya kalau semua udah curiga, yang laku cuma topeng dan kata manis.”
















