Klaten, 18 Juni 2025 –
Suasana gedung DPRD Klaten mendadak lebih ramai dari warung burjo saat sahur, karena ada agenda yang bikin dahi merengut dan telinga nguping: public hearing Raperda perubahan nama BPR Bank Klaten.
Iya, sampeyan ndak salah baca.
Dari “Perkreditan” jadi “Perekonomian.”
Kelihatannya sepele, tapi ini bukan cuma soal ganti papan nama atau cetak ulang kop surat. Ini soal ganti wajah bank yang katanya mau makin sayang rakyat.
Nama Baru, Layanan Baru, atau Sekadar Tambal Cat Lama?
Gareng Petruk sempat ngedumel waktu dengar beritanya.
Katanya mau jadi “Bank Perekonomian Rakyat.”
Tapi jangan-jangan yang berubah cuma namanya, sementara mekanisme kreditnya masih mirip warung kelontong: cepat kasih utang, lambat kalau nurunin bunga.
Opan Kristiyawan, Direktur Bisnis Bank Klaten, bilang begini dengan gaya presentasi ala seminar UMKM:
“Kami ingin masyarakat Klaten makin kenal dan makin cinta sama Bank Klaten, yang notabene milik Pemda.”
Weh, kalau cinta bisa dibangun cuma lewat nama, mungkin mantan saya juga udah ganti KTP biar saya rujuk lagi.
Kinerja Bagus, Tapi UMKM Masih Banyak yang Menangis Diam-diam
Bank Klaten ini katanya sudah 50 tahun berdiri, dan konon sudah menyetor Rp 59 miliar ke PAD Klaten.
Modal awalnya? Rp 24 miliar.
Lumayan lah.
Kalau ini lomba balap sapi, berarti sapinya gak cuma sehat, tapi juga lari kenceng sambil senyum.
Tapi tunggu dulu…
UMKM mana yang sudah benar-benar menikmati bunga rendah itu?
Petruk iseng tanya ke bakul cilok depan alun-alun:
“Mbak, panjenengan pernah ngajuin pinjaman ke Bank Klaten?”
Jawabnya: “Ngajukan pernah, ditolak juga pernah.”
Katanya sih karena syaratnya belum terpenuhi.
Tapi jangan-jangan karena tampangnya nggak ‘bankable’?
Ingat ya, rakyat kecil itu bukan portofolio, tapi potensi. Jangan sampai bank milik rakyat malah lebih galak dari rentenir.
Raperda Digaungkan, Rakyat Diundang, Tapi Didengar Juga Enggak?
Wakil Ketua DPRD Klaten, Bahtiar Joko Widagdo, menyebut public hearing ini sebagai langkah penting.
Gareng setuju.
Public hearing memang penting.
Tapi yang lebih penting: apa hasilnya? Didengar beneran atau cuma formalitas sambil ngopi dan selfie bareng spanduk?
Kalau mau benar-benar menyerap aspirasi rakyat, ya jangan cuma undang yang pake jas dan dasi.
Undang juga tukang tambal ban, buruh pasar, sama emak-emak penggiling tempe.
Mereka yang selama ini “di pinggiran ekonomi”, tapi tetap bayar pajak dan sabar ngantri BLT.
Gareng Petruk: Jangan Sampai Nama Ganti, Tapi Pola Sama
Kata Gareng, mengganti nama bank itu sah-sah saja.
Tapi yang penting bukan pergantian nama, tapi perubahan watak.
Dari bank yang pelit, jadi bank yang pro rakyat.
Dari bank yang penuh jargon, jadi bank yang kasih solusi, bukan sekadar saran.
“Jangan-jangan nanti ‘Perekonomian’ cuma jadi eufemisme baru buat tetap menekan rakyat kecil dengan bunga besar,” kata Petruk sambil nyeruput kopi sachet.

Klaten Jangan Cuma Ganti Label, Ganti Nasib Juga Dong!
Kalau mau berubah, ya sekalian.
Ganti nama, ganti semangat.
Ganti aturan, ganti pelayanan.
Dan yang paling penting: ganti mindset dari ‘bank untuk untung’ jadi ‘bank untuk rakyat.’
Biar nama Bank Klaten bukan cuma terdengar keren, tapi juga berkesan di hati rakyat.
Karena sesungguhnya, nama yang baik itu bukan yang indah didengar…
Tapi yang bikin warung kecil tetap hidup, petani tetap tersenyum, dan rakyat tidak lagi takut masuk kantor bank.
Gareng Petruk pamit dulu,
besok katanya ada audiensi dengan nasabah kecil yang pernah ditolak karena cuma pakai sandal jepit.
Padahal niatnya cuma satu: ngangsur, bukan ngemplang.
Diselenggarakan di Ruang Aspirasi DPRD Klaten
Rakyat boleh ikut. Tapi ingat, aspirasi bukan cuma didengar, tapi dilaksanakan!
















